Waspada Potensi “Jebakan” Emas di Oktober Siklus 4 tahunan kini membayangi laju impresif emas sepanjang 2024

Waspada Potensi “Jebakan” Emas di Oktober Siklus 4 tahunan kini membayangi laju impresif emas sepanjang 2024

● Era penurunan suku bunga The Fed resmi dimulai setelah melakukan pemangkasan 50
basis poin pada pertengahan September lalu.


● ECB kembali memangkas suku bunga pada September, sementara BoE memilih
mempertahankan di level 5%. Dampaknya, suku bunga di Inggris kini lebih tinggi ketimbang
di Amerika Serikat.


● BoJ menjadi satu-satunya bank sentral utama yang mengambil kebijakan berbeda dengan
menaikkan suku bunga. Hal ini membuat selisih suku bunga dengan The Fed berpotensi
semakin menyempit.


● Kebijakan bank sentral tersebut memicu volatilitas tinggi dalam beberapa bulan terakhir
dan berpotensi berlanjut pada Oktober.


● Harga emas melanjutkan tren kenaikan impresif, tercatat sepanjang 2024 melesat lebih
dari 30% dan berulang kali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa. Namun, Pilpres di
Amerika Serikat bisa menjadi batu sandungan bagi emas dalam jangka pendek.


● Pergerakan di pasar forex masih akan sangat volatil, dengan poundsterling berpeluang
masih tetap unggul berhadap dengan dolar AS.


Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akhirnya
sah memulai era penurunan suku bunga. Pada pengumuman kebijakan moneter Kamis 19
September dini hari waktu Indonesia, The Fed memangkas suku bunga acuannya (Federal Funds
Rate/FFR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,75% – 5%.

Suku Bunga The Fed Sumber: Trading Economics

Pemangkasan ini menjadi yang pertama sejak pertengahan 2019 dan terbilang cukup agresif. Sebab, dalam kondisi normal pemangkasan suku bunga biasanya dilakukan sebesar 25 basis poin. Langkah The Fed tersebut membuat dolar AS tertekan dan harga komoditas khususnya emas, melesat tajam hingga menembus US$ 2.600 per troy ons. Bahkan kini semakin mendekati US$2.700 per troy ons.

Selain memangkas suku bunga, The Fed juga merilis dot plot yang memberikan gambaran seberapa cepat suku bunga akan diturunkan. Dot plot berisi titik-titik yang mewakili pandangan 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed mengenai posisi suku bunga acuan di setiap tahunnya.

Fed Dot Plot Sumber: Federal Reserve

Dalam dot plot tersebut terlihat The Fed memproyeksi di akhir 2024 suku bunga akan berada di
kisaran 4,25% – 4,5%. Pada sisa tahun ini, The Fed masih akan mengumumkan kebijakan moneter
sebanyak 2 kali pada November dan Desember. Dengan asumsi pemangkasan dilakukan sebesar
25 basis poin (dalam kondisi ekonomi normal), artinya The Fed akan memangkas suku bunga 2 kali
lagi

Kemudian untuk 2025 The Fed memproyeksikan suku bunga berada di kisaran 3,25% – 3,5% atau
turun sebesar 100 basis poin dari akhir 2024. Dengan kata lain akan ada 4 kali pemangkasan suku
bunga pada tahun depan.


Untuk 2026, suku bunga diperkirakan berada di kisaran 2,75% – 3%. Namun, proyeksi tersebut
tentunya bisa berubah tergantung kondisi perekonomian Amerika Serikat. Bahkan proyeksi dot
plot yang dirilis 3 bulan sekali sangat tidak konsisten pada tahun ini.


Pada dot plot edisi Juni, The Fed memproyeksikan hanya akan memangkas suku bunga 1 kali saja
sebesar 25 basis poin pada 2024. Proyeksi tersebut, berbeda cukup signifikan ketimbang dot plot
edisi Maret yang memproyeksikan penurunan suku bunga 75 basis poin.


Pada dot plot edisi terbaru, suku bunga juga diproyeksikan turun 100 basis poin pada 2024. Tidak
konsistennya proyeksi tersebut menggambarkan perekonomian Amerika Serikat yang sulit
ditebak. Pada pertengahan tahun lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell menunjukkan belum
memiliki keyakinan inflasi akan mencapai target yang ditetapkan sebesar 2%. Keyakinan tersebut
baru muncul belakangan ini dan membuat The Fed memangkas suku bunga dengan agresif.
Keyakinan dari The Fed muncul sepertinya setelah data inflasi sektor jasa yang mulai stabil..

Inflasi Jasa Amerika Serikat Sumber: Trading Economics

Pada Juli dan Agustus, inflasi ini tumbuh 4,9% terendah sejak awal 2022. Sebelumnya inflasi ini
sangat fluktuatif dan cenderung berada di atas 5%. Ketika inflasi jasa tinggi, ada kekhawatiran jika
inflasi inti berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) juga akan “lengket” atau sulit
turun. Sebabnya sektor jasa merupakan motor penggerak perekonomian Amerika Serikat,
berkontribusi sekitar 70% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan 80% terhadap tenaga kerja.


Dengan inflasi jasa yang mulai stabil dan di bawah 5%, ditambah dengan pasar tenaga kerja yang
mulai melemah, The Fed mulai yakin bisa mengendalikan inflasi. Suku bunga dipangkas dengan
cukup agresif guna menghindarkan perekonomian Amerika Serikat dari kemerosotan tajam hingga
resesi.


Namun, perasaan was-was bisa kembali muncul melihat data terbaru. Pada Agustus inflasi inti PCE
berada di level 2,7% year-on-year (YoY), naik dari bulan sebelumnya 2,6%.

Inflasi Inti PCE Amerika Serikat Sumber: Trading Economics

Seperti disebutkan sebelumnya, kondisi perekonomian Amerika Serikat sulit diprediksi, yang
membuat The Fed tidak konsisten dalam memberikan panduan kebijakan moneter tahun ini.
Agresivitas The Fed dalam memangkas suku bunga sangat tergantung dari kondisi perekonomian,
setidaknya 2 acuan utamanya yakni data inflasi inti PCE dan pasar tenaga kerja termasuk
termasuk non-farm payrolls (NFP). Data ini akan dirilis pada Jumat (4/10/2024) yang bisa mempengaruhi proyeksi seberapa besar suku bunga akan dipangkas. Bahkan rilis ini bisa dikatakan
akan memberikan dampak yang lebih besar ketimbang data inflasi inti PCE.


Jika melihat kondisi pasar tenaga sektor jasa yang membaik pada Agustus, rilis data NFP atau
penyerapan tenaga kerja diluar sektor pertanian kemungkinan tidak akan menunjukkan
penurunan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang dilaporkan sebanyak 142.000 orang.

PMI Jasa Amerika Serikat Subitem Tenaga Kerja Sumber: Trading Economics

Institute for Supply Management (ISM) melaporkan Purchasing Managers’ Index (PMI) jasa pada
Agustus sebesar 51,5, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 51,4. PMI menggunakan angka 50
sebagai ambang batas; di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 adalah ekspansi.


Khusus untuk sub-item tenaga kerja, angka indeksnya dilaporkan 50,2 pada Agustus lebih rendah
dari bulan sebelumnya 51,1. Meski demikian, sub-item ini masih mengalami ekspansi setelah
sebelumnya mengalami kontraksi periode Februari – Juli yang berkontribusi terhadap melemahnya
pasar tenaga kerja.

PMI jasa sub-item tenaga kerja yang masih berekspansi artinya perekrutan karyawan baru masih
terjadi meski tidak sekencang bulan sebelumnya. Hal ini yang membuat ada kemungkinan NFP
Amerika Serikat yang akan dirilis Jumat nanti tidak akan terlalu buruk.


Skenario tersebut membuat The Fed kemungkinan akan melakukan pemangkasan suku bunga
sesuai dengan proyeksi pada dot plot.


ECB dan BoE Lebih Hati-Hati, BoJ Beda Arah
Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE)
sudah lebih dulu memangkas suku bunga ketimbang The Fed. Namun, keduanya mengambil
langkah yang lebih hati-hati.


ECB sudah memangkas suku bunga sebanyak 2 kali pada tahun ini, pada Juli dan September,
sementara BoE 1 kali pada Agustus lalu. Arah kebijakan keduanya juga menjadi salah satu pemicu
tingginya volatilitas pasar sepanjang September.

PMI Jasa Zona Euro Sumber: Trading Economics

Sorotan kini lebih terarah ke ECB di mana aktivitas bisnis zona euro mengalami kemerosotan. PMI
manufaktur mengalami kontraksi semakin dalam pada bulan ini ke 44,8 dari sebelumnya 45,8.

Sementara ekspansi sektor jasa melambat dengan angka indeks menunjukan angka 50,5
dibandingkan Agustus 52,9.


Penurunan kondisi dunia usaha tersebut membuat ECB berpeluang memangkas suku bunga lagi
pada Oktober mendatang. Terutama jika inflasi di zona euro menunjukkan penurunan. Inflasi
(Consumer Price Index/CPI) pada Agustus lalu turun menjadi 2,2% YoY terendah sejak Juli 2021.


Sementara CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi turun menjadi 2,8% YoY
dibandingkan sebelumnya 2,9% YoY.

CPI Inti Zona Euro Sumber: Trading Economics

ECB sebelumnya menegaskan kebijakan yang akan diambil akan menggunakan pendekatan
meeting by meeting, sehingga rilis data inflasi tersebut akan menjadi sorotan. Potensi ECB
memangkas suku bunga lagi bisa membuat volatilitas pasar pada Oktober masih akan tinggi, meski
The Fed absen mengumumkan kebijakan moneter.


Sementara itu BoE memilih mempertahankan suku bunga acuannya 5% pada pengumuman
kebijakan moneter September. Dengan demikian, saat ini suku bunga di Inggris lebih tinggi
ketimbang Amerika Serikat. Dampaknya bisa terlihat, GBPUSD terus menanjak.

Ada potensi laju penurunan suku bunga BoE jauh lebih lambat ketimbang The Fed sebab inflasi di
Inggris kembali menunjukkan kenaikan. Pada Agustus, CPI inti tercatat tumbuh 3,6% YoY, tertinggi
dalam 4 bulan terakhir.

Inflasi Inggris Sumber: Reuter

Inflasi sektor jasa kembali jadi perhatian setelah tumbuh 5,6% YoY pada Agustus, dibandingkan
bulan sebelumnya 5,2% YoY. BoE sebelumnya sudah memprediksi inflasi berpotensi kembali
terakselerasi, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah seberapa tinggi sebelum kembali melandai.


BoE baru akan mengadakan rapat kebijakan moneter lagi November mendatang, artinya ada 1 lagi
rilis data inflasi Inggris yang bisa menjadi pertimbangan. Jika laju inflasi kembali melandai ada
potensi BoE akan memangkas suku bunga pada 2 bulan mendatang.


1 bank sentral yang berpotensi mengguncang pasar finansial yakni bank sentral Jepang (Bank of
Japan/BoJ) yang mengambil kebijakan paling berbeda dengan bank sentral lainnya. BoJ menjadi
satu-satunya bank sentral utama dunia yang justru menaikkan suku bunga.

Suku Bunga BoJ Sumber: Trading Economics

BoJ sudah 2 kali menaikkan suku bunga pada Maret dan Juli lalu. Suku bunganya saat ini berada di
0,25%, tertinggi sejak Desember 2008. Gubernur BoJ, Kazuo Ueda juga membuka peluang untuk
kembali menaikkan suku bunga jika inflasi dan kondisi ekonomi Jepang sejalan dengan forecast
bank sentral.


Dengan demikian, ke depannya selisih suku bunga dengan The Fed berpotensi semakin
menyempit.


Potensi Pergerakan Pasar Pada Oktober
Emas sedang menjadi primadona saat ini, sebabnya The Fed yang memulai era penurunan suku
bunga, konflik di Timur Tengah yang tak kunjung usai serta pembelian oleh bank sentral global
yang masih terus berlanjut.


Sepanjang tahun ini emas sudah melesat lebih dari 30% dan berulang kali memecahkan rekor
tertinggi sepanjang masa. Rekor terakhir tercatat di US$ 2.685 per troy ons yang dicapai pada 26
September lalu.


Meski fundamental sedang sangat mendukung, ada faktor yang bisa membuat emas berbalik arah
pada Oktober, yakni pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat. Sehingga patut diwaspadai akan adanya “jebakan” dari kenaikan tajam harga emas; fundamental yang mendukung membuat trader
melihat potensi besar emas kembali naik, tetapi peluang berbalik arah nampaknya akan lebih
besar. Data dari Seasonax menunjukkan dalam 6 kali Pilpres Amerika Serikat sejak tahun 2000,
emas tercatat turun sebanyak 5 kali pada Oktober atau 1 bulan sebelum pencoblosan. Secara
rata-rata selama Oktober sebelum Pilpres di AS harga emas tercatat turun 4,7%.

Kinerja Emas Pada Oktober Sebelum Pilpres AS Sumber: Seasonax

Menariknya lagi, dalam dua Pilpres terakhir pada 2016 dan 2020, harga emas mencatat kenaikan
lebih dari 20% pada periode Januari – September sebelum akhirnya turun pada Oktober. Hal yang
sama bisa terjadi pada tahun ini, emas dalam 9 bulan tahun ini sudah melesat 30%.


Kenaikan tajam tersebut tentunya menggoda para trader untuk mencairkan keuntungan dengan
melakukan profit taking. Apalagi, pemenang Pilpres antara Kamala Harris vs Donald Trump bisa
memberikan dampak yang serupa tapi tak sama ke emas dalam jangka panjang. Kemenangan
Harris artinya perekonomian Amerika Serikat akan status quo, tidak ada perubahan yang mendasar
dari saat ini.


Hal tersebut membuat The Fed akan tetap pada jalurnya untuk menurunkan suku bunga. Patut
diingat, ada kemungkinan pelaku pasar sudah price in terhadap proyeksi suku bunga The Fed.

Sehingga jika tidak ada penurunan yang lebih agresif, laju kenaikan emas pada tahun depan
kemungkinan akan lebih terbatas.


Berbeda jika Trump yang memenangi Pilpres, perubahan yang signifikan bisa terjadi di lanskap
ekonomi maupun politik. Trump sudah menggembar-gemborkan kenaikan tarif impor yang
berpotensi memicu perang dagang. Kondisi tersebut membuat laju kenaikan emas berpotensi lebih
kencang.


Berdasarkan hasil polling terbaru yang dihimpun FiveThirtyEight, Kamala Harris unggul tipis 48,3%
vs Donald Trump 45,8%. Keunggulan Kamala Harris tersebut semakin membuka potensi
penurunan harga emas pada Oktober.


Sementara itu dari pasar forex, Potensi Kamala Harris menjadi Presiden AS juga akan membebani
dolar. Sebabnya, laju pemangkasan suku bunga The Fed berpeluang besar sesuai dengan proyeksi
dot plot. Sebaliknya jika Trump yang diunggulkan memenangi Pilpres, kebijakan yang diambil
berpotensi memicu kenaikan inflasi lagi, sehingga The Fed akan lebih berhati-hati dalam
memangkas suku bunga.


Melihat kondisi tersebut poundsterling berpotensi masih akan unggul ketimbang dolar AS sebab
suku bunga di Inggris lebih tinggi ketimbang di Amerika Serikat. Untuk euro yang saat ini sedang
kuat, rilis data inflasi zona euro bisa menjadi kunci pergerakannya. Sebab, ECB saat ini belum
menutup peluang kembali memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Sehingga pergerakan
EURUSD berpeluang akan sangat volatil.


Hal yang sama juga akan terjadi pada USDJPY. Dalam beberapa bulan terakhir volatilitas pasangan
mata uang ini jauh lebih tinggi ketimbang EURUSD maupun GBPUSD. Sebabnya, perbedaan
kebijakan moneter yang diambil oleh The Fed dan BoJ. Ke depannya BoJ berpeluang kembali
menaikkan suku bunga, apalagi Shigeru Ishiba akan dilantik menjadi Perdana Menteri Jepang awal
Oktober. Ia sebelumnya mengkritik stimulus moneter yang diberikan dan mengatakan kini BoJ
sudah berada pada jalur yang tepat dengan menaikkan suku bunga.


Ishiba cenderung mendukung pengetatan moneter sehingga memberikan sentimen positif ke yen.